Usaha
peternakan di Indonesia telah dikenal sejak dahulu kala. Namun
pengetahuan tentang kapan dimulainya proses domestikasi dan
pembudidayaan ternak dari hewan liar, masih langka. Adanya bangsa ternak
asli di seluruh Indonesia seperti sapi, kerbau, kambing, domba, babi,
ayam dan itik, memberikan petunjuk bahwa penduduk pertama Indonesia
telah mengenal ternak sekurang-kurangnya melalui pemanfaatannya sebagai
hasil perburuan. Dengan kedatangan bangsa-bangsa Cina, India, Arab,
Eropa dan lain-lain, maka ternak kuda dan sapi yang dibawa serta
bercampur darah dengan ternak asli. Terjadilah kawin silang yang
menghasilkan ternak keturunan atau peranakan dipelbagai daerah
Indonesia. Disamping itu, dalam jumlah yang banyak masih terdapat ternak
asli. Dengan demikian terjadilah tiga kelompok besar bangsa ternak
yaitu kelompok pertama asalah bangsa ternak yang masih tergolong asli,
ialah ternak yang berdarah murni dan belum bercampur darah dengan bangsa
ternak luar. Kelompok kedua adalah kelompok "peranakan", yaitu bangsa
ternak yang telah bercampur darah dengan bangsa ternak luar. Kelompok
ketiga adalah bangsa ternak luar yang masih diperkembang-biakan di
Indonesia, baik murni dari satu bangsa atau yang sudah bercampur darah
antara sesama bangsa ternak "luar" tersebut. Bangsa ternak demikian
dikenal dalam dunia peternakan sebagai ternak "ras" atau ternak
"negeri".
Pentahapan waktu
didalam mempelajari sejarah usaha peternakan di Indonesia, disesuaikan
dengan perjalanan sejarah, untuk melihat perkembangan usaha peternakan
dalam kurun waktu suatu tahap sejarah. Didalam kurun waktu tersebut
dapat dipelajari sejauh mana pemerintah dikala itu memperhatikan
perkembangan bidang peternakan atau segi pemanfaatan ternak oleh
penduduk diwaktu itu.
Sejarah usaha peternakan dibagi dalam dua tahap yaitu :
1). Zaman Kerajaan- Kerajaan Tua.
Di
zaman kerajaan-kerajaan tua di Indonesia, usaha peternakan belum banyak
diketahui. Beberapa petunjuk tentang manfaat ternak di zaman itu serta
perhatian pemerintah kerajaan terhadap bidang peternakan telah muncul
dalam pelbagai tulisan prasasti atau dalam kitab-kitab Cina Kuno yang
diteliti dan dikemukakan oleh para ahli sejarah. Sangat menarik apa yang
dikatakan oleh para ahli sejarah tentang kegunaan ternak di
zaman-kerajaan Tarumanegara, Sriwijaya, Mataram, Kediri, Sunda, Bali dan
Majapahit. Ternak dizaman kerajaan-kerajaan tua ini telah memiliki tiga
peranan penting dalam masyarakat dan penduduk, yaitu sebagai perlambang
status sosial, misalnya sebagai hadiah Raja kepada penduduk atau
pejabat yang berjasa kepada raja. Peranan kedua adalah sebagai barang
niaga atau komoiti ekonomi yang sudah diperdagangkan atau dibarter
dengan kebutuhan hidup lainnya. Dan peranan ketiga adalah sebagai tenaga
pembantu manusia baik untuk bidang pertanian maupun untuk bidang
transportasi.
(1). Tarumanegara.
Kerajaan
yang berpusat di Jawa Barat ini telah memberikan perhatian terhadap
ternak, terutama ternak besar. Hal ini terdapat pada prasasti batu. Pada
upacara pembukaan saluran Gomati yang dibuat sepanjang sebelas
kilometer, Raja Purnawarman yang memerintah Tarumanegara dimasa itu
telah menghadiahkan seribu ekor sapi kepada kaum Brahmana dan para tamu
kerajaan.
(2). Sriwijaya.
Salah
satu kegemaran penduduk Sriwijaya adalah permainan adu ayam. Oleh
karena itu ternak ayam sudah mendapat perhatian. Disamping itu ternak
babi juga banyak dipelihara oleh penduduk. Sebagaimana kita tahu bahwa
kerajaan Siwijaya sangat luas daerah kekuasaannya dimasa itu. Terdapat
petunjuk bahwa ternak kerbau dan kuda sudah diternakkan diseluruh
kerjaan Sriwijaya, ternak sapi baru terbatas di Pulau Jawa, Sumatera dan
Bali.
(3). Mataram.
Ternak
sapi dan kerbau adalah dua jenis ternak besar yang memperoleh perhatian
raja-raja Mataram pada abad ke VIII Masehi. Kedua jenis ternak ini
memiliki hubungan erat dengan pertanian, disamping perlambang status.
Pada tulisan prasasti Dinaya diceritakan bahwa diwaktu persemian sebuah
arca didesa Kanjuruhan dalam tahun 760 M, Raja Gayana yang memerintah
Kerajaan Mataram dimasa itu telah menghadiahkan tanah, sapi dan kerbau
kepada para tamu kerajaan dan kepada kaun Brahmana. Terlihat disini
bahwa hadiah kerajaan dalam bentuk ternak, memiliki kesamaan dengan apa
yang dilakukan oleh raja Purnawarman dari kerajaan Tarumanegara.
(4). Kediri.
Kediri
adalah suatu kerajaan yang rakyatnya makmur dan sejahtera, karena
kerajaan ini telah memajukan pelbagai bidang kehidupan termasuk
peternakan. Hal ini terdapat didalam kitab Cina Ling-wai-tai-ta yang
disusun oleh Chou-K'u-fei dalam tahun 1178 M. Dikatakan bahwa rakyat
kerajaan Kediri hidup dalam kemakmuran dan kesejahteraan karena
pemerintah Kerajaan memperhatikan dan memajukan bidang pertanian,
peternakan, perdagangan dan penegakan hukum.
(5). Sunda.
Dimasa
kerajaan Sunda, kita mulai mengetahui adanya tataniaga ternak. Hal ini
disebabkan berkembangnya 6 kota pelabuhan didaerah kekuasaan Kerajaan
Sunda, yaitu Bantam, Pontang, Cigede, Tamgara, Kalapa dan Cimanuk. Hasil
pertanian termasuk peternakan sangat ramai. Semua ini diceritakan dalam
buku petualang Portugis, Tome Pires. Dikatakan bahwa kemakmuran
kerajaan Sunda terlihat dari hasil pertanian yang diperdagangkan
dikota-kota pelabuhan, meliputi lada, sayur-mayur, sapi, sapi, kambing,
domba, babi, tuak dan buah-buahan. Karena kerajaan Sunda juga memajukan
kesenian dan permainan rakyat diwaktu itu, maka terdapat petunjuk bahwa
permainan rakyat adu-domba telah berkembang dizaman kerajaan Sunda.
(6). B a l i.
Di
zaman kerajaan Bali, kita mulai mengetahui adanya penggunaan tanah
penggembalaan ternak atau tanah pangonan. Rakyat kerajaan Bali dizaman
pemerintah raja Anak Wungsu (1049-1077 M), memohon kepada raja untuk
dapat menggunakan tanah milik raja bagi tempat penggembalaan ternak,
karena tanah milik mereka tak dapat lagi menampung ternak yang
berkembang begitu banyak. Semua jenis ternak telah diternakkan oleh
penduduk kerajaan Bali, yaitu kambing, kerbau, sapi, babi, kuda, itik,
ayam dan anjing. Raja Anak Wungsu mengangkat petugas kerajaan untuk
mengurus ternak kuda milik kerajaan (Senapati Asba) dan petugas urusan
perburuan hewan (Nayakan). Dimasa kerajaan Bali inilah ternak sapi Bali
yang sangat terkenal dewasa ini mulai berkembang dengan baik.
(7). Majapahit.
Di
zaman kerajaan Majapahit kita mulai diperkenalkan dengan teknologi luku
yang ditarik sapi dan kerbau. Penggunaan tenaga ternak sebagai tenaga
tarik pedati dan gerobak meliputi ternak kuda, sapi dan kerbau. Hasil
pertanian melimpah sehingga rakyat Majapahit hidup makmur dibawah
pemerintahan raja Hayam Wuruk dan Maha Patih Gajah Mada.
Kerajaan-kerajaan
di Pulau Sumatra, Jawa, Bali, Lombok dan Sumbawa, yang berada dibawah
kekuasaan Majapahit juga meniru tehnik pertanian sawah dengan penggunaan
tenaga ternak dari kerajaan Majapahit. Namun penggunaan ternak sebagai
tenaga tarik sudah meluas keseluruh daerah kekuasaan Majapahit lainnya
di Nusantara.
Menjelang
berakhirnya kerajaan Majapahit belum terdapat petunjuk bahwa teknologi
luku dengan ternak sapi dan kerbau sebagai tenaga tarik sudah masuk ke
Kalimantan, Sulawesi dan Kepulauan Indonesia bagian timur lainnya. Maka
dapatlah disimpulkan bahwa teknologi sawah dengan sapi dan kerbau
sebagai penarik luku baru sempat disebarkan dipulau-pulau Sumatra, Jawa,
Bali, Lombok dan Sumbawa dizaman Majapahit.
Disamping
penggunaan ternak dalam bidang pertanian, ternak gajah dan sapi adalah
ternak "kebesaran", karena raja-raja Majapahit bila keluar istana dengan
naik gajah kehormatan atau naik kereta kerajaan yang ditarik sapi,
seperti yang ditulis dalam berita-berita Cina. Dengan demikian dapatlah
dikatakan juga bahwa kereta kerajaan dengan kuda sebagai ternak tarik
baru muncul pada kerajaan-kerajaan setelah zaman Majapahit.
(8). ZAMAN PENJAJAHAN.
Usaha
peternakan dizaman penjajahan bangsa asing atas penduduk Nusantara,
banyak terdapat dalam tulisan-tulisan yang berbentuk laporan maupun buku
yang diterbitkan secara resmi. Pengaruh penjajahan dalam bidang
peternakan banyak terdapat dalam masa penjajahan VOC (Verenigde Oost
Indische Compagnie), masa pemerintahan Hindia Belanda dan Jepang.
Laporan-laporan sejarah tentang pengaruh masa pemerintahan Inggris,
Portugis dan bangsa lainnya terhadap bidang peternakan sampai saat ini
belum banyak diketahui.
V.O.C.
Perhatian
VOC lebih banyak ditujukan pada perdagangan rempah-rempah yang sangat
mahal dipasaran Eropa. Dimasa VOC (1602-1799) usaha peternakan kuda
lebih banyak memperoleh perhatian. Hal ini penting bagi VOC untuk
kepentingan tentara "Kompeni" diwaktu itu. Pada masa itu kuda Arab dan
Persia dimasukkan dan disilangkan dengan ternak kuda asli.
Dari laporan
pemerintah Hindia Belanda diketahui, bahwa dalam masa VOC ternyata usaha
peternakan kuda juga mendapat perhatian raja-raja dan sultan-sultan
untuk kepentingan laskar kerajaan dan untuk kepentingan kuda tunggangan
raja sewaktu berburu hewan. Yang terkenal adalah peternakan kuda milik
Sultan Pakubuwono III di Mergowati yang terdiri dari kuda Friesland,
didirikan pada tahun 1651 tapi ditutup pada tahun 1800.
Perdagangan Ternak.
Perdagangan
ternak dan pemotongan ternak cukup ramai di zaman VOC, terutama dipulau
Jawa. Perdagangan ternak antar pulau begitu ramai, karena dizaman itu
transportasi laut masih dengan kapal layar yang tidak memungkinkan
pengangkutan ternak dalam jumlah yang banyak.
Peraturan Peternakan.
Peraturan
yang dikeluarkan oleh pemerintah VOC yaitu larangan terhadap pemotongan
kerbau betina yang masih produktif dalam tahun 1650. Peraturan ini
mula-mula diberlakukan dipulau Jawa, tetapi kemudian juga meliputi
daerah-daerah pengaruh VOC lainnya di Nusantara dan diperluas dengan
larangan pemotongan sapi betina yang masih produktif. Peraturan ini
mula-mula bermaksud untuk menjamin populasi ternak yang terus bertambah
dan dengan demikian menjamin pengadaan daging bagi tentara Kompeni di
Pulau Jawa. Dalam tahun 1776, peraturan ini ditambah dengan larangan
pemotongan ternak kerbau betina putih yang masih produktif.
(9). HINDIA BELANDA.
Pada
awal pemerintah Hindia Belanda, bidang peternakan belum banyak menarik
perhatian selain usaha peternakan kuda sebagai kelanjutan dari kegiatan
utama VOC dalam bidang peternakan, untuk kepentingan militer,
pengangkutan kiriman pos dan untuk memenuhi kegemaran pembesar-pembesar
Belanda dan kaum bangsawan sebagai ternak rekreasi dan perburuan hewan.
Selama
abad kesembilan belas dan abad kedua puluh sampai berakhirnya
pemerintahan Hindia belanda, beberapa kegiatan dalam bidang peternakan
perlu dicatat, karena memiliki hubungan dengan perkembangan usaha
peternakan di zaman pemerintah Indonesia.
Kegiatan dalam bidang peternakan di zaman Hindia Belanda dapat dikelompokkan ke dalam 10 jenis, ialah :
1. Peningkatan mutu ternak;
2. Pengadaan Peraturan-peraturan;
3. Pameran ternak;
4. Pembangunan taman-taman ternak;
5. Pembentukan koperasi peternakan;
6. Sensus ternak;
7. Pengamanan ternak;
8. Pengadaan sarana distribusi dan pemotongan;
9. Produksi sera dan vaksin.
10. Pendidikan dan penelitian.
1. Peningkatan Mutu Ternak.
Perkembangan
ilmu pengetahuan dalam abad kesembilan belas, khususnya ilmu biologi dan
mikrobiologi, ikut memberi pengaruh terhadap kegiatan dalam bidang
peternakan. Pengaruh ilmu genetika yang dipelopori oleh Mendel
(1822-1884) ikut mewarnai dunia peternakan, khususnya didalam kegiatan
peningkatan mutu genetik ternak lokal di Nusantara. Demikian juga
didalam bidang mikrobiologi yang dipelopori oleh Louis Pasteur
(1822-1899) dan Robert Koch (1843-1920) mewarnai penanganan kesehatan
ternak, produksi sera dan vaksin. Khususnya dalam bidang peningkatan
mutu genetik ternak asli Nusantara, kegiatan persilangan dan seleksi dan
penyebaran bibit ternak cukup banyak dilakukan.
Kuda -
Persilangan antara ternak kuda asli dilakukan dengan mendatangkan kuda
Arab dan Persia (1809) dan kuda Australia (1817). Dalam tahun 1870 dan
1880, kuda Australia didatangkan oleh pedagang ternak berkebangsaan
Perancis dari kepulauan Mauritanius.
Untuk
pulau Sumba hasil persilangan dengan kuda asli setempat, sangat
terkenal dengan nama Kuda Sandel. Selain itu didirikan pusat-pusat
pembibitan kuda di Cipanas (1820), Bogor (1938), Payakumbuh, Lubuk
Sikaping dan Tarutung (1980), Padalarang (1903), Padang Mangatas (1922),
sebagai pengganti Payakumbuh yang ditutup pada tahun 1907, Malasaro
Sulawesi Selatan (1874) dan pulau Rote (1841). Disamping itu di
Cisarua-Bandung perusahaan swasta bibit ternak, "General de Wet" milik
Hirchland dan Van Zyl yang didirikan pada tahun 1900, pada tahun 1921
ditunjuk sebagai rekanan bibit unggus kuda pemerintah.
Sapi
- Keturunan Bos sondaicus yang semula tersebar dipulau Jawa, Madura,
Sumatera, Bali dan Lombok, banyak memperoleh perhatian Pemerintah Hindia
Belanda. Selama abad kesembilan belas, persilangan ditujukan terutama
terhadap perbaikan mutu sapi Jawa, yang jumlahnya terbanyak, namun
berbadan kecil sehingga kurang cocok untuk ternak kerja.
Pada tahun 1806
Kontrolir Rothenbuhler di Surabaya, melaporkan bahwa pedagang ternak di
Jawa Timur telah mendatangkan sapi pejantan Zebu dari India untuk
dipersilangkan dengan sapi Jawa. Dalam tahun 1812 tercatat sapi bangsa
Zebu yang didatangkan adalah Mysore, Ongol, Hissar, Gujarat dan Gir
untuk dipersilangkan sengan sapi Jawa. Walaupun persilangan antara sapi
Jawa dengan bangsa sapi Zebu ini banyak memperlihatkan hasil yang baik,
namun bukanlah suatu program resmi pemerintah Hindia Belanda, karena
dalam abad ke sembilan belas belum ada dinas resmi yang menangani bidang
peternakan. Impor sapi Zebu dari India tetap dilanjutkan oleh para
pengusaha di Jawa Timur dari tahun 1878 hingga tahun 1897, disaat mana
impor dihentikan, karena berjangkitnya wabah pes ternak di India. Pada
waktu ini keturunan hasil persilangan telah banyak dengan bentuk tubuh
yang lebih besar dari sapi Jawa.
Sementara itu
dalam tahun 1889, Residen Kedu Selatan, Burnaby Lautier dengan bantuan
dokter hewan Paszotta melancarkan aksi kastrasi secara besar-besaran
terhadap ternak jantan lokal di Bagelen. Tujuannya, agar pejantan Zebu
saja yang digunakan sebagai pemacak. Walaupun usaha ini ditentang oleh
pemerintah pusat Hindia Belanda, pada tahun 1890 asisten residen
Schmalhausen mengikuti jejak Lautier untuk daerah Magetan di Jawa Timur.
Ia juga menganjurkan penanaman rumput benggala untuk makanan ternak.
Usaha persilangan sapi Jawa dengan sapi Madura, dilaksanakan oleh
kontrolir Van Andel, dibantu oleh dokter hewan Bosma, di daerah Pasuruan
Jawa Timur pada tahun 1891-1892. Persilangan secara berencana dan
besar-besaran barulah dilaksanakan setelah dinas resmi yang menangani
bidang peternakan dibentuk pada tahun 1905 yaitu Burgelijke
Veeatsenijkundige Diens (BVD) sebagai bagian dari Departemen van
Landbaouw atau Departemen Pertanian. BVD telah melaksanakan peningkatan
mutu sapi Jawa dengan pelbagai kegiatan ialah :
Peningkatan dengan pejantan Jawa
Dari
tahun 1905 sampai 1911 dilakukan penyebaran sapi jantan Jawa yang baik
ke daerah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam tahun 1911 usaha
ini dihentikan, oleh karena para petani menginginkan ternak sapi yang
lebih kuat dan lebih besar untuk ternak kerja.
Persilangan dengan Sapi Madura
Usaha ini sudah
dimulai di akhir abad ke sembilan belas oleh Van Andel. BVD juga
melanjutkan kegiatan persilangan ini di pulau Jawa sampai tahun 1921.
Pada saat ini usaha ini dihentikan, karena kurang memenuhi harapan para
petani terhadap ternak kerja.
Persilangan dengan Sapi Bali.
Penduduk Jawa
Timur terutama di darha keresidenan Banyuwangi telah lama mengenal sapi
Bali sebagai ternak kerja yang cukup baik. Usaha persilangan sapi Jawa
dengan pejantan Bali dimulai tahun 1908 di Pulau Jawa. Tapi usaha inipun
dihentikan pada tahun 1921, karena angka kematian sapi Bali dan
keturunannya yang sangat tinggi oleh penyakit darah.
Persilangan dengan Sapi Zebu
Pengusaha
perkebunan di Sumatera Timur telah banyak mendatangkan sapi Zebu untuk
ternak penarik gerobak dan ternak perah di akhir abad kesembilan belas.
Ternyata kemudian ternak sapi tersebut adalah sapi Hissar yang
didatangkan ke Pulau Jawa pada tahun 1905 dan dinamai Sapi Benggala.
Namun sapi Hissar yang tiba di pulau Jawa tidak memuaskan. BVD dalam
tahun 1906 dan 1907 telah mendatangkan sapi Zebu dari India. Dokter
hewan Van Der Veen yang diserahi tugas ke India, ternyata telah memilih
Sapi Mysore, yang kurang memenuhi harapan karena kematian yang tinggi
akibat penyakit piroplasmosis dan ternak jantannya sangat agresif.
Pada pembelian
di tahun 1908 oleh BVD tiga bangsa sapi dipilih, ialah Ongol, Gujarat
dan Hissar. ternyata Sapi Ongol berkembang baik di Pulau Jawa, Sapi
Gujarat baik di pulau Sumba dan Sapi Hissar baik di pulau Sumatera. Pada
tahun 1909 dan 1910 ternyata BVD memutuskan untuk lebih banyak membeli
Sapi Ongol. Sampai tahun 1911 perkembangan sapi Ongol lebih baik,
sehingga diputuskan memilih sapi Ongol untuk perbaikan mutu Sapi Jawa.
Dari sinilah muncul untuk pertama kalinya Program Ongolisasi yang
dimulai pada tahun 1915, disaat mana pembelian dari India dihentikan
sama sekali. Semua ternak pembelian terakhir ditempatkan di pulau Sumba.
Dikemudian hari ternyata Sapi Ongol dan Gujarat di Sumba berkembang
sangat baik, sehingga pulau Sumba menjadi sumber bibit murni sapi Ongol
dan Gujarat yang kemudian dikenal sebagai sapi Sumba Ongol (SO).
Persilangan dengan Sapi Eropa
Tiga
bangsa sapi Eropa yang banyak digunakan untuk persilangan adalah Here
ord, Shorthorn (Australia) dan Fries Holland (Belanda). Impor Sapi
Hereford dan Shorthorn kemudian dihentikan karena berjangkitnya penyakit
paru-paru ganas di Australia. Sapi Fries Holland sendiri banyak
disilangkan dengan sapi Jawa dan sapi Ongol terutama di Jawa Timur dan
Jawa Tengah, Karena keturunannya memiliki sifat yang baik.
Sumba Kontrak.
Salah satu bentuk penyebaran bibit ternak sapi Ongol di dalam program ongolisasi, ialah Sumba Kontrak.
Sumba
Kontrak adalah penempatan dan penyebaran sapi bibit ongol di pulau
Sumba yang dilaksanakan dalam bentuk meminjamkan 12 induk dan satu
pejantan ongol kepada seorang peternak. Pengembalian pinjaman dilakukan
oleh peminjam dengan mengembalikan ternak keturunan dalam jumlah, umur
dan komposisi kelamin yang sama dengan jumlah ternak yang dipinjam,
ditambah dengan satu ekor keturunan (jantan atau betina) untuk setiap
tahun selama peternak belum melunasi pinjamannya. Untuk akad pinjaman
ini, peternak menandatangani suatu kontrak dengan pemerintah, yang
kemudian dikenal dengan Sumba Kontrak. Jumlah ternak awal disebut
Koppel, sehingga kemudian hari muncul juga istilah Sapi Koppel. Sumba
kontrak secara resmi dimulai pada tahun 1912.
Sistim
penyebaran sapi bibit ini tidak hanya berlaku dipulau sumba, tapi
diperluas ke pulau-pulau lain dan meliputi pelbagai jenis ternak : Sapi
Bali, Sapi madura, Kambing, Domba dan Babi dengan jumlah ternak yang
tidak sama untuk satu koppel.
Dalam masa dua puluh tahun (1920 - 1940) penyebaran ternak bibit, terjadi dua usaha penting yaitu :
-
Penyebaran ternak bibit antar pulau dan antar daerah, yaitu penyebaran
sapi Ongol dan peranakan Ongol dari pulau Jawa ke Sumbawa, Sulawesi,
Kalimantan Barat dan Sumatera. Penyebaran sapi Bali dari pulau Bali ke
Lombok, Timor, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan. Penyebaran sapi
Madura ke pulau Flores dan kalimantan Timur.
- Penyebaran ternak bibit dan bibit tanaman makanan ternak secara lokal disekitar taman-taman ternak dipulau Jawa dan Sumatera.
K e r b a u.
Ternak
kerbau lokal yang dikenal sebagai Kerbau Lumpur sudah sejak dahulu
terdapat diseluruh nusantara. Dengan kedatangan bangsa India ke
Sumatera, dibawa juga kerbau Murrah yang kini masih banyak terdapat
didaerah Sumatera Utara dan Aceh.
K a m b i n g.
Kambing
lokal atau kambing kacang telah ada di seluruh Nusantara. Didalam zaman
Hindia Belanda didatangkan juga kambing bangsa India (Ettawah) yang
merupakan kambing perah dan disebarkan hampir diseluruh pantai utara
pulau Jawa.
Bebarapa
bangsa kambing lain juga didatangkan yaitu : Saanen. Namun persilangan
yang terkenal kini adalah kambing Peranakan Ettawah (PE).
D o m b a.
Ternak
domba dibagi dua bangsa yang terkenal yaitu domba ekor gemuk dan domba
lokal lainnya, yang tersebar diseluruh Nusantara. Semua bangsa domba ini
adalah tipe daging. Dizaman Hindia Belanda didatangkan bangsa domba
tipe wol misalnya Merino Rambo illet, Romney dan tipe daging misalnya
Corridale dan Soffolk. Persilangan bangsa domba wol dan daging dengan
domba lokal Priangan menghasilkan domba yang sangat terkenal diwaktu ini
ialah domba Garut.
B a b i.
Ternak babi lokal tersebar diseluruh Nusantara.
Dizaman
Hindia Belanda didatangkan babi ras bangsa Eropah yaitu York shire,
Veredelde Deutchland Landras (VDL), Tamworth, Veredelde Nederlandsche
Landras (VNL), Saddle Back, Duroc Jersey, Berk shire.
Sapi Perah.
Pada
permulaan abad ke 20 telah dapat perusahaan sapi perah dipinggiran
kota-kota besar di Jawa dan Sumatera. Kebanyakan perusahaan adalah milik
bangsa Eropah, Cina, India dan Arab. Hanya sebagian kecil milik
penduduk asli. Bangsa sapi perah yang ada ialah Fries Holland, Jersey,
Ayrshire, Dairy Shorthor dan Hissar. Kemudian ternyata yang terus
berkembang adalah fries Holland. Bangsa sapi Hissar masih terus
diternakkan didaerah Sumatera bagian Utara dan Daerah Istemewa Aceh.
Ayam
Disamping
ayam kampung, di zaman Hindia Belanda telah dipekenalkan ayam ras tipe
petelur misalnya leghorn dan ayam ras tipe pedaging misalnya Rhode
Island Red dan Australorp. Persilangan Autralorp dengan ayam kampung
yang terkenal adalah Ayam kedu.
Itik
Di samping itik lokal, di zaman Hindia Belanda telah didatangkan bangsa itik Khaki Campbell dan itik Peking.
Bangsa itik lokal yang terkenal : adalah itik Tegal, itik Karawang dan itik Alabio.
Aneka Ternak
aneka
ternak misalnya ternak kelinci, burung puyuh dan burung merpati, belum
memperoleh perhatian pemerintah Hindia Belanda. Kelinci hanyalah
digunakan di balai-balai penelitian sebagai hewan percobaab. disinilah
asalnya istilah : Kelinci percobaan.
Sumber : http://www.etawafarm.com/2011/12/sejarah-peternakan-di-indonesia.html